Senin, 30 November 2015

FILSAFAT POLITIK

Istilah filsafat berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaituphilo dan sophia. Dua kata ini mempunyai arti masing-masing. Philoberarti cinta dalam arti lebih luas atau umum yaitu keinginan, kehendak. Sedangkan Sophia mempunyai arti hikmah, kebijaksanaan, dan kebenaran. Jadi, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom).
            Filsafat sebagai bentuk proses berpikir yang sistematis dan radikal mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah segala yang ada. Dan segala yang ada mencakup ada yang tampak(visible). Ada yang tampak (visible) di sini adalah dunia empiris artinya yang dapat dialami manusia, sedangkan ada yang tidak tampak adalah dunia ide-ide yang disebut dunia metafisik.
            Dalam perkembangan selanjutnya, objek material filsafat dibagi atas tiga bagian yaitu yang ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Dan ada pun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan objektif tentang yang ada, agar dapat mencapai hakikatnya, intinya.
            Di samping pengertian diatas, berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan seperti ini, tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang notabene adalah juga bidang politik.
            Bagi Plato, filsafat adalah pengetahuan tentang segalanya. Dan bagi Aritoteles, filsafat adalah menyelidiki sebab dan azas segala benda. Karena itu, Aristoteles menamakan filsafat dengan “teologia” atau “filsafat petama”. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud pada proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Dalam negara seperti Indonesia, kekuasaan negara dibagi atas 3 (tiga) bagian. Pertama,Lembaga Eksekutif oleh Presiden.Kedua, Lembaga Legislatif oleh DPR.Ketiga, Lembaga Yudikatif oleh Mahkamah Agung. Ketiga-tiganya bersifat independen. Artinya tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Politik juga sering dikaitkan dengan hal penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Yang menyelenggarakannya bukan rakyat, tetapi pemerintahan yang berkuasa. Hanya saja partisipasi rakyat sangat diharapkan. Tujuannya agar kerja pemerintahan dapat terlaksana dengan baik. Percuma suatu pemerintahan menyelenggarakan negara tanpa dukungan dari rakyat. Karena itu, kerja sama antara keduanya sangat diharapkan. Rakyat menyampaikan aspirasi kepada pemerintahan melalui wakil-wakilnya di Parlemen yang diwakili oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik pusat maupun Daerah serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
          Negara Indonesia, ada 2 (dua) pengertian politik. Pertama, Kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam masyarakat. Kedua, segala sesuatu yang berkaitan dengan proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Pengertian pertama mau menegaskan bahwa Politik berkaitan dengan “kekuasaan”. Kekuasaan adalah tujuan para pelaku politik. Karena itu, para pelaku politik dapat melakukan apa saja demi meraih dan mempertahankan kekuasaan. Beberapa contoh sikap dan usaha para pelaku politik untuk meraih kekuasaan misalnya: melalui kampanye Pilpres (Pemilihan Presiden),kampanye legislatif, dan lain-lain. Usaha mempertahankan kekuasaan misalnya: melalui lobi-lobi politik antara pelaku politik (elit politik),menjalankan kebijakan pemerintahan secara efisien, sehingga ada kemungkinan untuk terpilih kembali, atau melakukan money politic agar mendapat dukungan pejabat pemerintahan dan para pelaku politik lainnya. Sedangkan pengertian yang kedua berkaitan dengan kebijakan pemerintahan dalam negara. Kebijakan Pemerintahan ada bermacam-macam di sini. Pertama,kebijakan dalam negeri yang terdiri dari kehidupan sosial dan budaya, politik, ekonomi, pertahanan keamanan, dan lain-lain. Kedua,kebijakan luar negeri yang berurusan dengan hubungan dengan negara lain. Namun, pemerintahan berkuasa dalam menjalankan segala kebijakannya tersebut paling tidak harus didukung oleh 2/3 anggota DPR(Dewan Perwakilan Rakyat). Jika tidak, pemerintahan akan mengalami kesulitan dalam menjalankan kebijakan tersebut. Karena tidak didukung oleh sebagian besar anggota Parlemen. Tapi jika pemerintahan didukung oleh 2/3 suara mayoritas di parlemen, maka dengan sendirinya kebijakan-kebijakan pemerinthan tidak akan mengalami hambatan-hambatan dalam penerapannya.
            Ada berbagai macam sistem politik yang dianut oleh negara-negara di dunia antara lain: sistem anarkisme, autoritarian, demokrasi, diktatorisme, fasisme, federalisme, feminisme, fundamentalisme keagamaan, globalisme, imperialisme, marxisme, meritokrasi, monarki, nasionalisme, rasisme, sosialisme, theokrasi, totaliterisme, oligarki. walaupun dalam kenyataannya sistemsistem politik tersebut berakhir tragis. Namun, sebetulnya punya tujuan sama yaitu membangun masyarakat beradab, dan berbudaya tinggi.

Definisi Filsafat Politik
          
  Setelah mengetahui pengertian filsafat dan politik, maka definisi filsafat politik diperoleh melalui gabungan keduanya, yaitu sebagai suatu upaya  untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan ini tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang nota bene adalah bidang politik tempat masyarakat bernaung. Dan di situ filsafat muncul sebagai kritik. Dalam upaya kritisnya tersebut, filsafat menuntut agar segala klaim para pelaku politik untuk menata masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak membiarkan segala macam kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Artinya pelaku-pelaku politik dituntut untuk sungguh-sungguh menjadi pengayom dan pelayan masyarakat banyak. Dan bukan sebaliknya yaitu penindas masyarakat. Di negara-negara modern, penguasa punya tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Rakyat sejahtera berarti tujuan kebijakan-kebijakan politiknya terlaksana dengan baik. Dengan kata lain, janji-janjinya kepada rakyat terpenuhi.

            Filsafat Politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat. Ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, pancasila, dan lain-lain.
 DAFTAR PUSTAKA
[1] Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 8
2 Dr. Amsal Baktiar, MA, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. 2, hlm. 2
3 Dikutip dari “http://id. wikipedia. org/wiki/Politik
4 Daniel T. Sparinga, Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Harian Kompas, 2000), hlm. 24.
5 J.H. Rapar, Filsafat Politik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 3
6 Ibid., hlm. 303

Eksistensialisme

Pembahasan

2.1  Hakikat Eksistensialisme
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto = berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan - merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.

2.2  Latar Belakang Lahirnya Eksistensialisme
Filsafat selalu lahir dari suatu krisis. Krisis berarti penentuan. Bila terjadi krisis, orang biasanya meninjau kembali pokok pangkal yang lama dan mencoba apakah ia dapat tahan uji. Dengan demikian filsafat adalah perjalanan dari satu krisis ke krisis yang lain. Begitu juga filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:
  1. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti halnya kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan bahwa manusia sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada prinsipnya, pada dasarnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material; dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
  1. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran; menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
  1. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di dunia Eropa Barat yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan makna pada kehidupan.
2.3  Ciri Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkan pemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat barat. Istilah eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada penganutnya. Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme sebagai berikut :
  1. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
  2. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
  3. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
  4. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif atau massa.
  5. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
  6. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
2.4  Tokoh-tokoh Eksistensialisme
  1. Soren Aabye Kiekegaard
Søren Aabye Kierkegaard (lahir di KopenhagenDenmark5 Mei 1813 – meninggal di KopenhagenDenmark11 November 1855 pada umur 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika dihadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.
Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".
Ide-ide pokok Soren Aabye Kierkegaard adalah sebagai berikut:
1)      Tentang Manusia.
Kierkegaard menekankan posisi penting dalam diri seseorang yang "bereksistensi" bersama dengan analisisnya tentang segi-segi kesadaran religius seperti iman, pilihan, keputus asaan, dan ketakutan. Pandangan ini berpengaruh luas sesudah tahun 1918, terutama di Jerman. Ia mempengaruhi sejumlah ahli teologi protestan dan filsuf-filsuf eksistensial termasuk Barh, Heidegger, Jaspers, Marcel, dan Buber.
Alur pemikiran Kierkegaard mengajukan persoalan pokok dalam hidup; apakah artinya menjadi seorang Kristiani? Dengan tidak memperlihatkan "wujud" secara umum, ia memperhatikan eksistensi orang sebagai pribadi. Ia mengharapkan agar kita perlu memahami agama Kristen yang otentik. Ia berpendapat bahwa musuh bagi agama Kristiani ada dua, yaitu filsafat Hegel yang berpengaruh pada saat itu. Baginya, pemikiran abstrak, baik dalam bentuk filsafat Descartes atau Hegel akan menghilangkan personalitas manusia dan membawa kita kepada kedangkalan makna kehidupan. Dan yang kedua adalah konvensi, khususnya adat kebiasaan jemaat gereja yang tidak berpikir secara mendalam, tidak menghayati agamanya, yang akhirnya ia memiliki agama yang kosong dan tak mengerti apa artinya menjadi seorang kristiani.
Kierkegaard bertolak belakang dengan Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah karena Hegel meremehkan eksistensi yang kongkrit, karena ia (Hegel) mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard manusia tidak pernah hidup sebagai sesuatu "aku umum", tetapi sebagai "aku individual" yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Kierkegaard sangat tidak suka pada usaha-usaha untuk menjadikan agama Kristen sebagai agama yang masuk akal (reasonable) dan tidak menyukai pembelaan terhadap agama Kristiani yang menggunakan alasan-alasan obyektif.
Penekanan Kierkegaard terhadap dunia Kristiani, khususnya gereja-gerejanya, pendeta-pendetanya, dan ritus-ritus (ibadat-ibadat)nya sangat mistis. Ia tidak menerima faktor perantara seperti pendeta, sakramen, gereja yang menjadi penengah antara seorang yang percaya dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
2)      Pandangan tentang Eksistensi
Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan mengajukan pernyataan ini; bagi manusia, yang terpenting dan utama adalah keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan, maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri. Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak bereksistensi dalam arti sebenarnya.
Kierkegaard membedakan tiga bentuk eksistensi, yaitu estetis, etis, dan religius.
·         Eksistensi estetis menyangkut kesenian, keindahan. Manusia hidup dalam lingkungan dan masyarakat, karena itu fasilitas yang dimiliki dunia dapat dinikmati manusia sepuasnya. Di sini eksistensi estetis hanya bergelut terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kenikmatan pengalaman emosi dan nafsu. Eksistensi ini tidak mengenal ukuran norma, tidak adanya keyakinan akan iman yang menentukan.
·         Eksistensi etis. Setelah manusia menikmati fasilitas dunia, maka ia juga memperhatikan dunia batinnya. Untuk keseimbangan hidup, manusia tidak hanya condong pada hal-hal yang konkrit saja tapi harus memperhatikan situasi batinnya yang sesuai dengan norma-norma umum. Sebagai contoh untuk menyalurkan dorongan seksual (estetis) dilakukan melalui jalur perkawinan (etis).
·         Eksistensi religius. Bentuk ini tidak lagi membicarakan hal-hal konkrit, tetapi sudah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Ia bergerak kepada yang absolut, yaitu Tuhan. Semua yang menyangkut Tuhan tidak masuk akal manusia. Perpindahan pemikiran logis manusia ke bentuk religius hanya dapat dijembatani lewat iman religius.
3)      Teodise
Menurut Kierkegaard, antara Tuhan dengan alam, antara pencipta dan makhluk terdapat jurang yang tidak terjembatani. Ia menjelaskan bahwa Tuhan itu berdiri di atas segala ukuran sosial dan etika. Sedangkan manusia jauh berada di bawah-Nya. Keadaan seperti ini menyebabkan manusia cemas akan eksistensinya. Tetapi dalam kecemasan ini, seseorang itu dapat menghayati makna hidupnya. Jika seseorang itu berada dalam kecemasan, maka akan membawa dirinya pada suatu keyakinan tertentu. Perilaku ini memperlihatkan suatu loncatan yang dahsyat di mana manusia memeluk hal yang tidak lagi masuk akal.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa agama Kristen itu mengambil langkah yang dahsyat, langkah menuju yang tidak masuk akal. Di sana agama Kristen mulai. Alangkah bodohnya orang yang ingin mempertahankan agama Kristiani. Tetapi menurut Kierkegaard iman adalah segala-galanya. Bila seseorang itu memihak agama Kristen atau memusuhinya atau memihak kebenaran atau memusuhinya. Agama Kristen itu bisa benar secara mutlak tetapi bisa juga salah secara mutlak.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
  1. Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
  1. Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.
  1. Martin Heidegger
Martin Heidegger (lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 –meninggal 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana 1928. Karya terpenting Heidegger adalah Being and Time (German Sein und Zeit, 1927).
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
  1. Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi.
Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.
Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
Ide-ide pokok Sartre adalah sebagai berikut:
1)      Tentang Manusia
Bagi Sartre, manusia itu memiliki kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya. Kehidupan manusia itu mungkin tidak mengandung arti dan bahkan mungkin tidak masuk akal. Tetapi yang jelas, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan integritas, keluhuran budi, dan keberanian, dan dia dapat membentuk suatu masyarakat manusia. Dalam novel semi-otobiografi La Nausee (1938) dan essei L'Eksistensialisme est un Humanism (1946), ia menyatakan keprihatinan fundamental terhadap eksistensi manusiawi dan kebebasan kehendak. Menurutnya, manusia tidak memiliki apa-apa sejak ia lahir. Dan sepertinya, dari kodratnya manusia bebas dalam pilihan-pilihan atas tindakannya atau memikul beban tanggung jawab.
Sartre mengikuti Nietzsche yakni mengingkari adanya Tuhan. Manusia tak ada hubungannya dengan kekuatan di luar dirinya. Ia mengambil kesimpulan lebih lanjut, yakni memandang manusia sebagai kurang memiliki watak yang semestinya. Ia harus membentuk pribadinya dan memilih kondisi yang sesuai dengan kehidupannya. Maka dari itu "tak ada watak manusia", oleh karena tak ada Tuhan yang memiliki konsepsi tentang manusia. Manusia hanya sekedar ada. Bukan karena ia itu sekedar apa yang ia konsepsikan setelah ada---seperti apa yang ia inginkan sesudah meloncat ke dalam eksistensi". Sartre mengingkari adanya bantuan dari luar diri manusia. Manusia harus bersandar pada sumber-sumbernya sendiri dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi pilihan-pilihannya. Karena itu bagi Sartre, pandangan eksistensialis adalah suatu doktrin yang memungkinkan kehidupan manusia. Eksistensialime mengajarkan bahwa tiap kebenaran dan tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyektifitas manusia.
2)      Dua Tipe Ada: L'etre-pour-Soi dan L'etre-en-Soi
Pemikiran Sartre tentang 'ada' tertuang dalam karya monumentalnya L'etre et Le neant (Keberadaan dan Ketiadaan). Menurut dia, ada dua macam "etre" atau :'ada', yaitu L'etre-pour-Soi (ada-untuk dirinya sendiri) dan L'etre-en-Soi (ada-dalam dirinya sendiri).
a)      L'etre-en-Soi (being in itself/ada dalam dirinya sendiri)
L'etre-en-Soi sama sekali identik dengan dirinya. L'etre-en-Soi tidak aktif, tidak juga paisf, tidak afirmatif dan juga tidak negatif: kategori-kategori macam itu hanya mempunyai arti dalam kaitan dengan amnesia. L'etre-en-Soi tidak mempunyai masa silam, masa depan: tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. L'etre-en-Soi sama sekali kontingen, yang berarti ia ada begitu saja, tanpa dasar, tanpa diciptakan, tanpa diturunkan, dari sesuatu yang lain. Jadi ada dalam dirinya sendiri. Istilah L'etre-en-Soi ini untuk menunjukkan eksistensi di dalamnya seseorang bertindak sebagai sesuatu yang ada begitu saja, tanpa menyadari bahwa pilihan otentik, bebas, terbuka bagi semua tindakan seseorang. Kualitas ada-dalam dirinya sendiri adalah milik semua benda dan manusia sejauh mereka bertindak sebagai obyek yang diam.
b)      L'etre-pour-Soi
Konsep ini tidak mentaati prinsip identitas seperti halnya dengan etre-en-soi. Diungkapkan di sini, bahwa manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya. Ia bertanggung jawab atas fakta bahwa ia ada dan bertanggung jawab atas fakta bahwa ia seorang pekerja. Kalau benda-benda itu tidak menyadari dirinya ada, tetapi manusia sadar bahwa ia berada. Di dalam kesadaran ini, yaitu di dalam kesadaran yang disebut reflektif, ada yang menyadari dan ada yang disadari, ada subyek dan ada obyek.
3)      Mauvaise Foi
Konsep ini menjelaskan bahwa penyangkalan diri seseorang terutama faal tidak mengakui dan tidak menerima bahwa seseorang mempunyai kebebasan memilih. Sikap ini menghindar tanggung jawab dan takut membuat keputusan. Konsep ini juga mengandung pengertian kurangnya penerimaan diri, teristimewa tidak menerima atau menipu diri sendiri tentang apa yang benar mengenai diri sendiri.
4)      Kebebasan
Dalam pemikiran Sartre selalu bermuara pada konsep kebebasan. Ia mendefinisikan manusia sebagai kebebasan. Sartre memberikan perumusan bahwa pada manusia itu eksistensi mendahului esensi, maksudnya setelah manusia mati baru dapat diuraikan ciri-ciri seseorang. Perumusan ini menjadi intisari aliran eksistensialisme dari Sartre. Kebebasan akan memberi rasa hormat pada dirinya dan menyelamatkan diri dari sekedar menjadi obyek. Kebebasan manusia tampak dalam rasa cemas. Maksudnya karena setiap perbuatan saya adalah tanggung jawab saya sendiri. Bila seseorang menjauhi kecemasan, maka berarti ia menjauhi kebebasan. Kebebasan merupakan suatu kemampuan manusia dan merupakan sifat kehendak. Posisi kebebasan itu tidak dapat tertumpu pada sesuatu yang lain, tetapi pada kebebasan itu sendiri.
Sartre mengakui pemikiran Mark lebih dekat dengan keadaan masyarakat dan satu-satunya filsafat yang benar dan definitif. Filsafat Mark telah memberikan kesatuan konkrit dan dialektis antara ide-ide dengan kenyataan pada masyarakat. Mark telah menekankan konsep keberadaan sosial ketimbang kesadaran sosial. Dan bagi Sartre, Mark adalah seorang pemikir yang berhasil meletakkan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dan sejarah. Meski demikian, Sartre tidak menganggap pemikiran Mark sebagai akhir suatu pandangan filsafat, karena setelah cita-cita masyarakat tanpa kelas versi Mark terbentuk, maka persoalan filsafat bukan lagi soal kebutuhan manusia akan makan dan pakaian, tetapi persoalan filsafat mungkin dengan memunculkan tema yang baru, seperti soal kualitas hidup manusia masa depan. Tetapi pemikiran Mark itu dinilai relevan untuk masa kini.
Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.


Minggu, 22 November 2015

TEORI NILAI ( AKSIOLOGI )

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manusia dikenal sebagai makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan dengan nilai. Semua yang dikerjakan manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Salah satu kajian di dalam filsafat adalah aksiologi. Pada pembahasan aksiologi ini, maka manusia akan berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau muncul pertanyaan “apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah kita menilainya karena benda itu bernilai?”. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai dimensi aksiologi.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian aksiologi?
2.      Bagaimana konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai?
3.      Bagaimana jenis, hakikat, dan makna nilai?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.        Untuk mengetahui pengertian aksiologi.
2.        Untuk memahami konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai.
3.        Untuk mengetahui jenis, hakikat, dan makna nilai.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata Yunani “axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos” artinya ilmu; studi mengenai. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Dari pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah, yaitu:
  1. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
  2. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
  3. Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a.    Nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori idealisme subyektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kasadaran dan memandang nilai sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subyektif manusia kepada obyek yang dinilainya.
b.    Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
c.    Nilai-nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.

     Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial, dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
     Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya muncul pertama kali pada paroh kedua abad ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika, dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut Richard Bender, suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian, atau yang menyummbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan tentang nilai yaitu sebagai berikut:
1.      Nilai dalam bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna,mampu akan, berdaya, berlaku, kuat).
2.      Nilai ditinjau dari segi Harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.
3.      Nilai ditinjau dari segi Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negative”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
4.      Nilai ditinjau dari seudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali mengunakan secara umum kata “nilai”.

Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004:318), mengatakan bahwa nilai itu sangat erat kaitannya dengan kebaikan atau dengan kata baik, walaupun fakta baiknya, bisa berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
B.       Konsep Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi harus mencari nilai. Karena sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud apa saja, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai harus merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.
1.  Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering diucapkan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).

2.  Nilai itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu“subyektif”  jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a)  Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan  - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.
b)  Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.

3.  Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.

4.  Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.

5.  Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).

6.  Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.

C.      Karakteristik dan Tingkatan Nilai
 Ada beberapa karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1.      Nilai objektif atau subjektif
Nilai itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2.      Nilai absolut atau berubah
Suatu nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial. Di pihak lain, ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.

Terdapat beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1.      Kaum Idealis
Mereka berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (niai material).
2.      Kaum Realis
Mereka menempatkan niai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam, dan aturan berfikir logis.
3.      Kaum Pragmatis
Menurut mereka, suatu aktifitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.

D.   Jenis Nilai
Aksiologi sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
·      Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan moral, berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika merupakan teori tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang memuat dasar untuk berbuat susila. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan filsafat tentang perilaku manusia.
·      Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Antara ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari nilai-nilai etika agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spritual religius menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral-pendidikan Islam harus berbentuk proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang sosio budaya masing-masing.

b. Estetika dan Pendidikan
·                Estetika
              Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
·                Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
    Adapun yang mendasari hubungan antara filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi tentang hakikat seni:
1.      Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
2.      Seni sebagai alat kesenangan.
3.      Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun, dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, berseni (sesuai dengan Islam).

E.       Hakikat dan Makna Nilai
Hakikat dan makna nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks.
Mengenai makna nilai Kattsoff mengatakan, bahwa nilai mempunyai beberapa macam makna. Sejalan dengan itu, maka makna nilai juga bermacam-macam. Rumusan yang bisa penulis kemukakan tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus mengandung nilai (berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah), mempunyai nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan memberi nilai, artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.

BAB III
KESIMPULAN

Filsafat nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang  nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai secara filosofis, mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada hakikat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan.  Aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.

Disamping itu, aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu yang bersifat subyektif maupun obyektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, dan sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai maka tercapailah apa yang menjadi tujuan manusia.