BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Filsafat
Secara etimologis kata
filsafat dalam bahasa Yunani adalah philosophia, yaitu gabungan dari dua kata
philia atau philen yang berarti cinta atau mencintai dan sophos yang berarti
kebijaksanaan. Sementara dalam bahasa Inggris, filsafat berasal dari kata
philosophy yang bisa diartikan sebagai mencintai kebajikan.
Secara terminologis, dalam
Kamus Filsafat (Loren Bagus, 1996:42) dijelaskan beberapa pengertian pokok
tentang filsafat menurut kalangan filosof, yaitu: Pertama, filsafat merupakan
upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap
tentang suatu realitas; Kedua, merupakan upaya melukiskan hakikat realitas
akhir dan dasar serta nyata; Ketiga, filsafat merupakan upaya menentukan
batas-batas dan jangkauan dari pengetahuan baik itu tentang sumber, hakikat,,
keabsahan, dan nilainya; Keempat, penyelidikan kritis atas
pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai
bidang pengetahuan; Keenam, filsafat merupakan disiplin ilmu yang berupaya
untuk membantu melihat apa yang dikatakan dan untuk mengatakan apa yang
dilihat.
Endang
Saifuddin Anshari (1987: 83) mengutip pernyataan Al Farabi bahwa pengertian
filsafat adalah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat
yang sebenarnya.
Sedangkan Sumarno, Karimah,
dan Damayani dalam buku Filsafat dan Etika Komunikasi (2004: 13-14) pengertian
filsafat dapat dibedakan menjadi:
1. Filsafat sebagai suatu
sikap. Filsafat merupakan sikap terhadap kehidupan dan alam semesta.Bagaimana
manusia yang berfilsafat dalam menyikapi hidup dan alam sekitarnya.
2. Filsafat sebagai suatu
metoda. Berfilsafat artinya berpikir secara reflektif, yakni berpikir dengan
memerhatikan unsure di belakang objek yang menjadi pusat pemikirannya.
3. Filsafat sebagai
kumpulan persoalan. Befilsafat artinya berusaha untuk memecahkan
persoalan-persoalan hidup.
4. Filsafat merupakan
sistem pemikiran. Socrates, Plato, atau Aristoteles merupakan tokoh filsafat
yang menghasilkan sistem pemikiran yang menjadi acuan dalam menjawab persoalan,
sebagai metode, dan cara bersikap kenyataan.
5. Filsafat merupakan
analisis logis. Filsafat berarti berbicara tentang bahasa dan penjelasan
makna-makna yang terkandung dalam kata dan pengertian.Hampir setiap filsuf
memakai metode analisis untuk menjelaskan arti istilah dan pemakaian bahasa.
6. Filsafat merupakan
suatu usaha memperoleh pandangan secara menyeluruh. Filsafat mencoba
menggabungkan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai macam ilmu serta pengalaman
manusia menjadi suatu pandangan dunia yang menyeluruh.
Sementara Muntasyir dan Munir
(2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :
1. Filsafat adalah sekumpulan
sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara
tidak kritis (arti informal).
2. Filsafat adalah
suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat
kita junjung tinggi (arti formal).
3. Filsafat adalah
usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk
mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga
menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif).
4. Filsafat adalah
analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak
filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
5. Filsafat adalah
sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan
yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
2.2 Pengertian Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena.
Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti dari pada
fenomena ini. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann
Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman.Dalam bukunya Neues Organon (1764).ditulisnya
tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan
sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena,
sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha
untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita
alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting
dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
Fenomenologi adalah studi
tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari
kata ini timbul kata Pheinomenon berarti
yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan bahwa
setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu hal
keadaan yang disebut intentional (berdasarkan
niat atau keinginan).
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme
adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber
pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran.
Fenomenologi merupakan sebuah aliran yang berpendapat bahwa, hasrat yang kuat
untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap
fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat
dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal
( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara
kritis.
Fenomenologi
merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek
di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan,
maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya, bahwa aliran fenomenologi
mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita ketahui sekarang ini merupakan
pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui hal-hal yang pernah kita
lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita. Fenomenologi merupakan suatu
pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami manusia.
2.3 Tokoh-tokoh
Fenomenologi
1.
Edmund
Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami fenomenologi sebagai suatu
metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl membentangkan
langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang murni. Untuk
melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta kesadarannya dan
berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai filsafat,
fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang
ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek tersebut.
Metode
fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu, penundaan
keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau
dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang
kita miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar
fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk
memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu diketahui.
Diantaranya:
1. Fenomena adalah
realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena(sesuatu yang berada di balik fenomena)
2. Pengamatan adalah
aktivitas spiritual atau rohani.
3. Kesadaran adalah
sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
4. Substansi adalah
kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa
terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus
melalui reduksi atau penyaringan yang terdiri dari :
1. Reduksi
fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud
mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus
melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu
pengetahuan dan ideologi.
2. Reduksi eidetis,
yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang
bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
3. Reduksi
transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri
perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu
fenomena tidak selalu harus dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat
juga dilihat atau ditilik secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak
perlu suatu peristiwa.
2.
Max
Scheller (1874-1928)
Scheller berpendapat bahwa
metode fenomenologi sama dengan cara tertentu untuk memandang realitas. Dalam
hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung dengan realitas berdasarkan
intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya
ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman filsafat.
Diantaranya :
1. Fakta natural,
yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak
dalam pengalaman biasa.
2. Fakta ilmiah,
yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin
abstrak.
3. Fakta
fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman
langsung.
3.
Martin
Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan
sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di
luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman,
perkataan atau pembicaraan. Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka
manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya
seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang
menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum
teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok
Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia
mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang
kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan
dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan
posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa
mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak
ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul
seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan
apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita
yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang
menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu
melihat noumena dan phenoumena.
4.
Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana
halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus memulai kegiatannya
dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang realitas, dengan
begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama hanya
meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa yang telah dikatakan orang
tentang realita, dan Kedua hanya
memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas
sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju
dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat mengetahui dengan sesuatu dan kita
hanya dapat mengetahui benda-benda yang dapat dicapai oleh kesadaran manusia,
namun ia mengatakan lebih jauh lagi, yakni bahwa semua pengalaman perseptual
membawa syarat yang essensial tentang sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi
yang dilakukan Marlean-Ponty tidak hanya berurusan dengan data rasa atau
essensi saja, akan tetapi menurutnya, kita melakukan perjumpaan perseptual
dengan alam. Marlean-Porty menegaskan sangat perlunya persepsi untuk mencapai
yang real.
2.4 Jenis-Jenis
Tradisi Fenomenologi
Inti dari
tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana
yang alamiah.Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan
pengalaman mereka sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui
pengalaman personal dan langsung dengan lingkungannya.Titik berat tradisi
fenomenologi adalah Pada bagaimana individu mempersepsi serta memberikan
interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari tradisi
Fenomenologi ini adalah,:
1.
Fenomena
Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan
pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya
tersendiri atau obyektif.
2.
Fenomenologi
Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang
berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa
dikatakan lebih subyektif.
3.
Fenomenologi
Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik
dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan
analisis guna menarik suatu kesimpulan.
2.5 Prinsip Dasar Fenomenologi
Stanley Deetz menyimpulkan
tiga prinsip dasar fenomenologis:
· Pengetahuan ditemukan secara
langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita
berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
· Makna benda terdiri dari
kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan
benda menentukan maknanya bagi kita.
· Bahasa merupakan kendaraan
makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan
dan mengekspresikan dunia itu.
2.6
Fenomenologi
Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk
mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami
sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran
kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang
nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan
suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya
seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap
teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana
adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama
fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan
realitas.
Bagi
Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai
pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang
dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Untuk itu, Husserl
mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena,
yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti:
“menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh
dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural
tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat
2.7
Konstribusi Fenomenologi Terhadap Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa
ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep
ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau
membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan
subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt )
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi
alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah
mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman
manusia ke formula-formula impersonal.[7]
Dunia
kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana
manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi
antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk
kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani,
sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan
inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini
menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak
dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu
alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ).
Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang
niscaya.
Tujuan
ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang
ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam
dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam
dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan,
ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam
proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini
adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk
menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka
meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas
(kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan
sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem
simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang
membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan
dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan
metodelogisnya.
2.8 Kelebihan dan Kekurangan Filsafat
Fenomenologi
Kelebihan filsafat fenomenoligi diantaranya dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. fenomenologi
sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya
dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
2. fenomenologi
mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
3. fenomenologi
memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek
lainnya.
Dengan
demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik,
bukan pendekatanpartial, sehingga diperoleh
pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi
kelebihan filsafat ini sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini
terutama ilmuan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang
kajian agama.
Dari
berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari
berbagai kelemahan, seperti :
1. Tujuan
fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada
pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu
pengetahuan, merupakan suatu yang absurd.
2. Pengetahuan yang
didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi
bermuatan nilai (value-bound).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar